Kekerasan Bermotif Agama Pada Abad-16
Abad
ke-16 dapat dikatakan sebagai masa kelam dalam sejarah kekristenan. Pada abad
ini terjadi protes dan aksi penolakan terhadap sikap gereja (katolik) yang
dianggap terlalu berkuasa dan membebani banyak pihak. Raja-raja menolak campur
tangan gereja dalam kekuasaan dalam negeri dan pendapatan mereka. Para
cendikiawan pun mulai mempertanyakan penafsiran dogma. Bukan hanya raja-raja
dan para cendikiawan, orang dari segala golongan pun kesal dengan pajak yang
membebani kaum awam, yakni derma perpuluhan.
Keluhan terhadap Gereja cukup
banyak, khususnya keluhan yang menyangkut kekayaan gereja. Setiap tahun gereja
menuntut upeti dari para raja dan meminta bayaran yang tinggi dari para uskup
ketika mereka diangkat. gereja melakukan pemungutan pajak tersendiri bagi
pembangunan gereja, bagi peperangan yang dilakukan, dan pelaksanaan pelbagai
pekerjaan lain. selain itu, Gereja menjadikan indulgensi sebagai pemasukannya
yang terbesar. Praktek inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab adanya
pemberontakan dan gerakan reformasi (Gonzalez 1985).
Gerakan reformasi protestan yang
dipimpin oleh Martin Luther dan dilanjutkan atau didukung oleh John Wyclif, Jan
Hus dan para pengikutnya di Bohemia pada hakikatnya merupakan produk perlawanan
terhadap gereja katolik. Para pendukung gerakan ini melihat banyaknya kasus
yang disebabkan oleh para pemuka agama yang menimbulkan demoralisasi atau
kemerosotan moral, seperti korupsi, pajak, dan termaksud hal politik yang
dijadikan sebagai sumber kekayaan gereja dan para pemuka agama (Gonzalez 1985).
Selama awal abad ke-16, pertikaian
antara orang katolik dan protestan kebanyakan hanya dengan kata-kata. Tetapi
sesudah tahun 1550 terjadi pertumpahan darah dalam perang agama di seluruh
Eropa. Dari tahun 1618 sampai1648 para pangeran Protestan Jerman, yang dibantu
oleh Denmark dan Swedia, berperang melawan Habsburg yang beragama Katolik
beserta dengan sekutu-sekutunya (Perancis dan Spanyol) untuk mempertahankan
Protestantisme dalam kekaisaran Jerman (Gonzalez 1985).
Perang yang terjadi di Eropa pada
abad ke-16 dinamakan sebagai perang tiga puluh tahun. Perang ini disebabkan
oleh adanya perbedaaan agama, yang kemudian menimbulkan pelbagai konflik dan
kepercayaan agama terutama Lutheran di Denmark dan Sweeden. Walupun terlihat
seperti peperangan antara agama Katolik dan Protestan, namun sebenarnya perang ini
juga berkaitan dengan persaingan dinasti
Hapsburg, kekuatan tentara, dan politik (Gonzalez 1985).
Perang tiga puluh tahun pun
merupakan perang saudara antara orang Jerman protestan dengan orang Jerman
katolik. Perang ini juga menyangkut perang saudara yang dilakukan oleh para pangerang
Jerman dari kedua aliran agama untuk melawan kaisar mereka. bukan hanya itu,
perang ini pun merupakan perang internasional: Perancis menentang keluarga
Habsburg, dan orang Spanyol berusaha keras untuk mendapatkan kembali
kekuasaannya atas Belanda (Gonzalez 1985).
Pada tahun 1619 Kaisar Habsburg,
Ferdinand II menjadi Raja Bohemia. Akan tetapi, para bangsawan yang kebanyakan
adalah Lutheran, memecatnya dari kedudukan raja, dan sebagai penggantinya
mereka mengangkat seorang Pangeran Protestan Jerman yang masih muda, Fredrick.
Kemudian, sang kaisar dengan bantuan uang dari Paus dan pasukan dari Spanyol,
mengirimkan tentara ke Bohemia untuk mengembalikan tahtanya, serta memulihkan
agama Katolik (Gonzalez 1985).
Untuk menegakkan kembali Gereja
Katolik di Jerman, Ferdinand mengeluarkan surat perintah Restitusi, yang
memerintahkan pengembalian seluruh barang milik Gereja Katolik yang disita
selama persengketaan sejak tahu 1552 dikembalikan. Perintah tersebut
menimbulkan banyak perlawanan. Akan tetapi perlawanan itu dapat diredam oleh
pasukan kekaisaran sampai Raja Swedia menawarkan diri kepada orang-orang
Protestan untuk membantu mereka melawan Gereja Katolik (Gonzalez 1985).
Perang ini pada dasarnya bertujuan
untuk memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan beragama. Kebanyakan dari pada
peberontakan tersebut adalah Protestant yang menentang pemerintah Hapsburg yang
melarang adanya penyebaran dan pengaruh agam lain kecuali Kristen Katolik.
Untuk mengahalau pemberontakan ini, Ferdinand II meminta pertolongan Maximilian
(Gonzalez 1985).
Sebenarnya, pergaduhan dan permusuhan
antara Katolik danProtestant yang berlaku di Bohemia disebabkan oleh
usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Bohemia yang mencoba menghapuskan agama
Protestant, Cavinisme, Lutherisme dan lain-lain dari negara itu. Mereka tetap
dengan pendirian mereka untuk menegakkan Katolik, dengan tujuan menjadikan
Katolik sebagai panutan semua rakyat pada masa itu. Konflik ini akan kembali
lagi apabila rakyat memilih Ferdinard II yang berasal dari Liga Katolik sebagai
pemerintah Bohemia yang telah menewaskan Elector Palatine Protestant yaitu
Frederick IV. Kejayaan Katolik di Bohemia menyebabkan Katolik di bawah Hapsburg
bertambah kuat (Gonzalez 1985).
Terpilihnya Henry IV dari Bourbon
yang seorang Calvinis menjadi raja, rupanya menjadi titik tolak pemulihan
perdamaian antara pengikut Calvin (Hugenots) dengan penganut Katolik di
Prancis. Pada tanggal 13 April 1598, Raja Henry IV mengeluarkan sebuah maklumat
yang mendukung diadakannya toleransi beragama di seluruh Kerajaan Prancis yang
dikenal sebagai Edikt Nantes. Maklumat ini memberikan angin segar bagi para
pengikut Calvin untuk menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan mereka,
kecuali di beberapa tempat (Gonzalez 1985).
Kematian Henry IV pada 14 Mei 1610 menjadi
awal dari gejolak kaum Hugenot dengan kaum Katolik di Perancis. Komunitas
Protestan selalu mendapatkan tekanan dari penganut Katolik yang mayoritas. Kaum
Protestan tidak lagi mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan membangun rumah
ibadah. Pada masa ini pula muncul perang Perancis yang merupakan serangkaian
konfrontasi kekerasan antara orang Perancis Katolik dan Protestan (Gonzalez
1985)..
Raja Louis XIV turut merasakan kekuatan
Protestan sebagai sesuatu yang membahayakan stabilitas negara dan kekuasannya.
Oleh karena itu, ia berniat untuk melemahkan dan menghancurkan Hugenot.
Sementara itu, penganut Katolik di Prancis merasa marah dan kecewa atas kasus
hukuman mati yang dijatuhkan kepada lima orang Yesuit di London pada tanggal 30
Juni 1679. Kemudian Raja Louis XIV didesak oleh penganut Katolik Prancis untuk
menekan para Huguenots yang dianggap bidaah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun
(1660-1679) terciptalah dua belas undang-undang untuk melawan Huguenots dan
bertambah lagi menjadi delapan puluh lima dari 1979 sampai 1685 (Gonzalez 1985)
(Gonzalez 1985)..
Penganiayaan yang dilakukan oleh Louis XIV terhadap
Huguenots berpuncak pada tanggal 18 Oktober 1685, dengan mencabut seluruh hasil
Edikt Nantes melalui Edikt Fontainebleu. Seluruh cara ini dilakukan oleh Raja
Louis XIV untuk mendongkrak popularitasnya dengan membentuk kerajaan yang
terdiri dari satu agama saja, yaitu Katolik Roma, dengan demikian kesatuan
politis dapat terlaksana. Louis XIV ingin menunjukkan kepada Paus Innocentius
XI bahwa dirinya adalah seorang pembela yang luar biasa bagi Gereja Katolik (Gonzalez
1985).
Melalui maklumat ini terjadilah
penghancuran-penghancuran terhadap rumah ibadat Calvinis dan penutupan bagi
seluruh sekolah Protestan. Sebanyak 200.000 Calvinis pergi melarikan diri ke
Inggris, Jerman, Swiss dan Belanda. Pengungsian ini mengakibatkan hancurnya
keadaan ekonomi Prancis karena Huguenots yang ahli dalam berbagai bidang ikut
melarikan diri (Gonzalez 1985).
Tokoh-tokoh utama yang mempelopori
gerakan Puritan di Inggris antaranya ialah Hugh Latimer, Nicholas Ridley,
Thomas Cranmer, William Tyndale, John Hooper dan John Rogers. Tokoh-tokoh pelopor gerakan Puritan ini
banyak dipengaruhi oleh ajaran para Reformator di kota-kota di negeri Swiss seperti
Ulrich Zwingli, Heinrich Bullinger dan Oecolampadius, dan para reformator ini
cenderung lebih mengikuti garis teologi Reformed, khususnya ajaran tentang doktrin
kovenan dan predestinasi (Gonzalez 1985).
Kaum Puritan adalah kaum yang meyakini
bahwa apa yang tidak tercantum secara khusus di dalam Alkitab berkenaan dengan
hal perayaan religius adalah hal yang dilarang. Kaum ini mengalami penganiayaan
setelah raja Edward VI wafat pada tahun 1553 dan diganti oleh ratu Mary I.
Selama masa pemerintahannya, banyak pemimpin Protestan di Inggris yang juga
adalah para tokoh pelopor gerakan Puritanisme seperti Hugh Latimer, Nicholas
Ridley, Thomas Cranmer dan John Hooper, dihukum mati dengan diikat di tiang
kayu dan dibakar hidup-hidup. Akibat
peristiwa penganiayaan tersebut, 800 orang Protestan di Inggris, termasuk John
Knox, terpaksa harus lari dan mengungsikan diri ke beberapa kota di daratan
Eropa seperti Frankfurt, Basel, Strasbourg dan Jenewa (Gonzalez 1985).
Setelah
Mary Tudor wafat tahun 1558 dan diganti oleh ratu Elizabeth I (1558-1603), kaum
Protestan Inggris mulai kembali ke negerinya untuk melanjutkan misi Reformasi
dengan mencoba menerapkan apa yang mereka pelajari selama masa pengungsian di
daratan Eropa. Pada masa ratu Elizabeth
I inilah, gerakan Puritan mulai menanamkan pengaruhnya secara lebih luas dan
mendalam ke setiap aspek kehidupan bermasyarakat di Inggris, yang kemudian
mencapai puncaknya di abad 17 ketika seorang tokoh Puritan bernama Oliver
Cromwell menjadi penguasa atau Lord Protector dari wilayah Persemakmuran
Inggris Raya (Gonzalez 1985). Jansenisme sebuah gerakan keagamaan
yang muncul terutama di Perancis, Low Countries, dan Italia yang diprakarsai
oleh Cornelius Otto Jansen. Ajaran ini muncul dari masalah teologis, yakni
mendamaikan rahmat ilahi dan kebebasan manusia. Di Prancis itu menjadi
terhubung dengan perjuangan melawan kepausan oleh para pendukung
Gallicanism-teori politik menganjurkan pembatasan kekuasaan paus dan dengan
oposisi terhadap absolutisme monarki dari Armand-Jean du Plessis Cardinal de
Richelieu dan Louis XIV. Kepausan (paus
Innocentius X dan Paus Pius VI) menyerang melawan Jansenisme pada 1653 dengan
penerbitan banteng Cum occasione ("Dengan Acara"), yang mengutuk lima
dari proposisi Jansen yang dianggap sebagai ibadah, khususnya tentang hubungan
kasih karunia dan kebebasan. Louis XIV bertekad untuk menghilangkan Jansenis yang
dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan kerajaannya. Namun, terjadi
perdamaian sementara antara Katolik dan Jansenis setelah Clement IX menjadi
Paus pada tahun 1667, dan konflik itu tidak lagi menjadi perhatian utama ketika
kepausan dan Gereja Perancis bentrok pada Gallicanism. Tapi setelah kontroversi
antara kepausan dan monarki itu diselesaikan, Louis XIV memulai aksi
penolakannya terhadap kaum tersebut (Gonzalez 1985)..
Daftar Acuan
Gonzalez, Justo L. The History of Christianity. 1985. New York:
HarperCollins