Jumat, 05 Oktober 2012

Kekerasan Bermotif Agama pada Abad-16


Kekerasan Bermotif Agama Pada Abad-16



            Abad ke-16 dapat dikatakan sebagai masa kelam dalam sejarah kekristenan. Pada abad ini terjadi protes dan aksi penolakan terhadap sikap gereja (katolik) yang dianggap terlalu berkuasa dan membebani banyak pihak. Raja-raja menolak campur tangan gereja dalam kekuasaan dalam negeri dan pendapatan mereka. Para cendikiawan pun mulai mempertanyakan penafsiran dogma. Bukan hanya raja-raja dan para cendikiawan, orang dari segala golongan pun kesal dengan pajak yang membebani kaum awam, yakni derma perpuluhan.
            Keluhan terhadap Gereja cukup banyak, khususnya keluhan yang menyangkut kekayaan gereja. Setiap tahun gereja menuntut upeti dari para raja dan meminta bayaran yang tinggi dari para uskup ketika mereka diangkat. gereja melakukan pemungutan pajak tersendiri bagi pembangunan gereja, bagi peperangan yang dilakukan, dan pelaksanaan pelbagai pekerjaan lain. selain itu, Gereja menjadikan indulgensi sebagai pemasukannya yang terbesar. Praktek inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab adanya pemberontakan dan gerakan reformasi (Gonzalez 1985).
            Gerakan reformasi protestan yang dipimpin oleh Martin Luther dan dilanjutkan atau didukung oleh John Wyclif, Jan Hus dan para pengikutnya di Bohemia pada hakikatnya merupakan produk perlawanan terhadap gereja katolik. Para pendukung gerakan ini melihat banyaknya kasus yang disebabkan oleh para pemuka agama yang menimbulkan demoralisasi atau kemerosotan moral, seperti korupsi, pajak, dan termaksud hal politik yang dijadikan sebagai sumber kekayaan gereja dan para pemuka agama (Gonzalez 1985).
            Selama awal abad ke-16, pertikaian antara orang katolik dan protestan kebanyakan hanya dengan kata-kata. Tetapi sesudah tahun 1550 terjadi pertumpahan darah dalam perang agama di seluruh Eropa. Dari tahun 1618 sampai1648 para pangeran Protestan Jerman, yang dibantu oleh Denmark dan Swedia, berperang melawan Habsburg yang beragama Katolik beserta dengan sekutu-sekutunya (Perancis dan Spanyol) untuk mempertahankan Protestantisme dalam kekaisaran Jerman (Gonzalez 1985).
            Perang yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 dinamakan sebagai perang tiga puluh tahun. Perang ini disebabkan oleh adanya perbedaaan agama, yang kemudian menimbulkan pelbagai konflik dan kepercayaan agama terutama Lutheran di Denmark dan Sweeden. Walupun terlihat seperti peperangan antara agama Katolik dan Protestan, namun sebenarnya perang ini juga berkaitan dengan persaingan  dinasti Hapsburg, kekuatan tentara, dan politik (Gonzalez 1985).
            Perang tiga puluh tahun pun merupakan perang saudara antara orang Jerman protestan dengan orang Jerman katolik. Perang ini juga menyangkut perang saudara yang dilakukan oleh para pangerang Jerman dari kedua aliran agama untuk melawan kaisar mereka. bukan hanya itu, perang ini pun merupakan perang internasional: Perancis menentang keluarga Habsburg, dan orang Spanyol berusaha keras untuk mendapatkan kembali kekuasaannya atas Belanda (Gonzalez 1985).
            Pada tahun 1619 Kaisar Habsburg, Ferdinand II menjadi Raja Bohemia. Akan tetapi, para bangsawan yang kebanyakan adalah Lutheran, memecatnya dari kedudukan raja, dan sebagai penggantinya mereka mengangkat seorang Pangeran Protestan Jerman yang masih muda, Fredrick. Kemudian, sang kaisar dengan bantuan uang dari Paus dan pasukan dari Spanyol, mengirimkan tentara ke Bohemia untuk mengembalikan tahtanya, serta memulihkan agama Katolik (Gonzalez 1985).
            Untuk menegakkan kembali Gereja Katolik di Jerman, Ferdinand mengeluarkan surat perintah Restitusi, yang memerintahkan pengembalian seluruh barang milik Gereja Katolik yang disita selama persengketaan sejak tahu 1552 dikembalikan. Perintah tersebut menimbulkan banyak perlawanan. Akan tetapi perlawanan itu dapat diredam oleh pasukan kekaisaran sampai Raja Swedia menawarkan diri kepada orang-orang Protestan untuk membantu mereka melawan Gereja Katolik (Gonzalez 1985).
            Perang ini pada dasarnya bertujuan untuk memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan beragama. Kebanyakan dari pada peberontakan tersebut adalah Protestant yang menentang pemerintah Hapsburg yang melarang adanya penyebaran dan pengaruh agam lain kecuali Kristen Katolik. Untuk mengahalau pemberontakan ini, Ferdinand II meminta pertolongan Maximilian (Gonzalez 1985).    
Sebenarnya, pergaduhan dan permusuhan antara Katolik danProtestant yang berlaku di Bohemia disebabkan oleh usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Bohemia yang mencoba menghapuskan agama Protestant, Cavinisme, Lutherisme dan lain-lain dari negara itu. Mereka tetap dengan pendirian mereka untuk menegakkan Katolik, dengan tujuan menjadikan Katolik sebagai panutan semua rakyat pada masa itu. Konflik ini akan kembali lagi apabila rakyat memilih Ferdinard II yang berasal dari Liga Katolik sebagai pemerintah Bohemia yang telah menewaskan Elector Palatine Protestant yaitu Frederick IV. Kejayaan Katolik di Bohemia menyebabkan Katolik di bawah Hapsburg bertambah kuat (Gonzalez 1985).
            Terpilihnya Henry IV dari Bourbon yang seorang Calvinis menjadi raja, rupanya menjadi titik tolak pemulihan perdamaian antara pengikut Calvin (Hugenots) dengan penganut Katolik di Prancis. Pada tanggal 13 April 1598, Raja Henry IV mengeluarkan sebuah maklumat yang mendukung diadakannya toleransi beragama di seluruh Kerajaan Prancis yang dikenal sebagai Edikt Nantes. Maklumat ini memberikan angin segar bagi para pengikut Calvin untuk menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan mereka, kecuali di beberapa tempat (Gonzalez 1985).
Kematian Henry IV pada 14 Mei 1610 menjadi awal dari gejolak kaum Hugenot dengan kaum Katolik di Perancis. Komunitas Protestan selalu mendapatkan tekanan dari penganut Katolik yang mayoritas. Kaum Protestan tidak lagi mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan membangun rumah ibadah. Pada masa ini pula muncul perang Perancis yang merupakan serangkaian konfrontasi kekerasan antara orang Perancis Katolik dan Protestan (Gonzalez 1985)..
Raja Louis XIV turut merasakan kekuatan Protestan sebagai sesuatu yang membahayakan stabilitas negara dan kekuasannya. Oleh karena itu, ia berniat untuk melemahkan dan menghancurkan Hugenot. Sementara itu, penganut Katolik di Prancis merasa marah dan kecewa atas kasus hukuman mati yang dijatuhkan kepada lima orang Yesuit di London pada tanggal 30 Juni 1679. Kemudian Raja Louis XIV didesak oleh penganut Katolik Prancis untuk menekan para Huguenots yang dianggap bidaah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1660-1679) terciptalah dua belas undang-undang untuk melawan Huguenots dan bertambah lagi menjadi delapan puluh lima dari 1979 sampai 1685 (Gonzalez 1985) (Gonzalez 1985)..
Penganiayaan yang dilakukan oleh Louis XIV terhadap Huguenots berpuncak pada tanggal 18 Oktober 1685, dengan mencabut seluruh hasil Edikt Nantes melalui Edikt Fontainebleu. Seluruh cara ini dilakukan oleh Raja Louis XIV untuk mendongkrak popularitasnya dengan membentuk kerajaan yang terdiri dari satu agama saja, yaitu Katolik Roma, dengan demikian kesatuan politis dapat terlaksana. Louis XIV ingin menunjukkan kepada Paus Innocentius XI bahwa dirinya adalah seorang pembela yang luar biasa bagi Gereja Katolik (Gonzalez 1985).
Melalui maklumat ini terjadilah penghancuran-penghancuran terhadap rumah ibadat Calvinis dan penutupan bagi seluruh sekolah Protestan. Sebanyak 200.000 Calvinis pergi melarikan diri ke Inggris, Jerman, Swiss dan Belanda. Pengungsian ini mengakibatkan hancurnya keadaan ekonomi Prancis karena Huguenots yang ahli dalam berbagai bidang ikut melarikan diri (Gonzalez 1985).
Tokoh-tokoh utama yang mempelopori gerakan Puritan di Inggris antaranya ialah Hugh Latimer, Nicholas Ridley, Thomas Cranmer, William Tyndale, John Hooper dan John Rogers.  Tokoh-tokoh pelopor gerakan Puritan ini banyak dipengaruhi oleh ajaran para Reformator di kota-kota di negeri Swiss seperti Ulrich Zwingli, Heinrich Bullinger dan Oecolampadius, dan para reformator ini cenderung lebih mengikuti garis teologi Reformed, khususnya ajaran tentang doktrin kovenan dan predestinasi (Gonzalez 1985).
Kaum Puritan adalah kaum yang meyakini bahwa apa yang tidak tercantum secara khusus di dalam Alkitab berkenaan dengan hal perayaan religius adalah hal yang dilarang. Kaum ini mengalami penganiayaan setelah raja Edward VI wafat pada tahun 1553 dan diganti oleh ratu Mary I. Selama masa pemerintahannya, banyak pemimpin Protestan di Inggris yang juga adalah para tokoh pelopor gerakan Puritanisme seperti Hugh Latimer, Nicholas Ridley, Thomas Cranmer dan John Hooper, dihukum mati dengan diikat di tiang kayu dan dibakar hidup-hidup.  Akibat peristiwa penganiayaan tersebut, 800 orang Protestan di Inggris, termasuk John Knox, terpaksa harus lari dan mengungsikan diri ke beberapa kota di daratan Eropa seperti Frankfurt, Basel, Strasbourg dan Jenewa (Gonzalez 1985).
Setelah Mary Tudor wafat tahun 1558 dan diganti oleh ratu Elizabeth I (1558-1603), kaum Protestan Inggris mulai kembali ke negerinya untuk melanjutkan misi Reformasi dengan mencoba menerapkan apa yang mereka pelajari selama masa pengungsian di daratan Eropa.  Pada masa ratu Elizabeth I inilah, gerakan Puritan mulai menanamkan pengaruhnya secara lebih luas dan mendalam ke setiap aspek kehidupan bermasyarakat di Inggris, yang kemudian mencapai puncaknya di abad 17 ketika seorang tokoh Puritan bernama Oliver Cromwell menjadi penguasa atau Lord Protector dari wilayah Persemakmuran Inggris Raya (Gonzalez 1985).                                                                                                                            Jansenisme sebuah gerakan keagamaan yang muncul terutama di Perancis, Low Countries, dan Italia yang diprakarsai oleh Cornelius Otto Jansen. Ajaran ini muncul dari masalah teologis, yakni mendamaikan rahmat ilahi dan kebebasan manusia. Di Prancis itu menjadi terhubung dengan perjuangan melawan kepausan oleh para pendukung Gallicanism-teori politik menganjurkan pembatasan kekuasaan paus dan dengan oposisi terhadap absolutisme monarki dari Armand-Jean du Plessis Cardinal de Richelieu dan Louis XIV.    Kepausan (paus Innocentius X dan Paus Pius VI) menyerang melawan Jansenisme pada 1653 dengan penerbitan banteng Cum occasione ("Dengan Acara"), yang mengutuk lima dari proposisi Jansen yang dianggap sebagai ibadah, khususnya tentang hubungan kasih karunia dan kebebasan. Louis XIV bertekad untuk menghilangkan Jansenis yang dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan kerajaannya. Namun, terjadi perdamaian sementara antara Katolik dan Jansenis setelah Clement IX menjadi Paus pada tahun 1667, dan konflik itu tidak lagi menjadi perhatian utama ketika kepausan dan Gereja Perancis bentrok pada Gallicanism. Tapi setelah kontroversi antara kepausan dan monarki itu diselesaikan, Louis XIV memulai aksi penolakannya terhadap kaum tersebut (Gonzalez 1985)..                                                                               

Daftar Acuan
Gonzalez, Justo L. The History of Christianity. 1985. New York: HarperCollins

Tidak ada komentar:

Posting Komentar