Jumat, 05 Oktober 2012

Kekerasan Bermotif Agama pada Abad-16


Kekerasan Bermotif Agama Pada Abad-16



            Abad ke-16 dapat dikatakan sebagai masa kelam dalam sejarah kekristenan. Pada abad ini terjadi protes dan aksi penolakan terhadap sikap gereja (katolik) yang dianggap terlalu berkuasa dan membebani banyak pihak. Raja-raja menolak campur tangan gereja dalam kekuasaan dalam negeri dan pendapatan mereka. Para cendikiawan pun mulai mempertanyakan penafsiran dogma. Bukan hanya raja-raja dan para cendikiawan, orang dari segala golongan pun kesal dengan pajak yang membebani kaum awam, yakni derma perpuluhan.
            Keluhan terhadap Gereja cukup banyak, khususnya keluhan yang menyangkut kekayaan gereja. Setiap tahun gereja menuntut upeti dari para raja dan meminta bayaran yang tinggi dari para uskup ketika mereka diangkat. gereja melakukan pemungutan pajak tersendiri bagi pembangunan gereja, bagi peperangan yang dilakukan, dan pelaksanaan pelbagai pekerjaan lain. selain itu, Gereja menjadikan indulgensi sebagai pemasukannya yang terbesar. Praktek inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab adanya pemberontakan dan gerakan reformasi (Gonzalez 1985).
            Gerakan reformasi protestan yang dipimpin oleh Martin Luther dan dilanjutkan atau didukung oleh John Wyclif, Jan Hus dan para pengikutnya di Bohemia pada hakikatnya merupakan produk perlawanan terhadap gereja katolik. Para pendukung gerakan ini melihat banyaknya kasus yang disebabkan oleh para pemuka agama yang menimbulkan demoralisasi atau kemerosotan moral, seperti korupsi, pajak, dan termaksud hal politik yang dijadikan sebagai sumber kekayaan gereja dan para pemuka agama (Gonzalez 1985).
            Selama awal abad ke-16, pertikaian antara orang katolik dan protestan kebanyakan hanya dengan kata-kata. Tetapi sesudah tahun 1550 terjadi pertumpahan darah dalam perang agama di seluruh Eropa. Dari tahun 1618 sampai1648 para pangeran Protestan Jerman, yang dibantu oleh Denmark dan Swedia, berperang melawan Habsburg yang beragama Katolik beserta dengan sekutu-sekutunya (Perancis dan Spanyol) untuk mempertahankan Protestantisme dalam kekaisaran Jerman (Gonzalez 1985).
            Perang yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 dinamakan sebagai perang tiga puluh tahun. Perang ini disebabkan oleh adanya perbedaaan agama, yang kemudian menimbulkan pelbagai konflik dan kepercayaan agama terutama Lutheran di Denmark dan Sweeden. Walupun terlihat seperti peperangan antara agama Katolik dan Protestan, namun sebenarnya perang ini juga berkaitan dengan persaingan  dinasti Hapsburg, kekuatan tentara, dan politik (Gonzalez 1985).
            Perang tiga puluh tahun pun merupakan perang saudara antara orang Jerman protestan dengan orang Jerman katolik. Perang ini juga menyangkut perang saudara yang dilakukan oleh para pangerang Jerman dari kedua aliran agama untuk melawan kaisar mereka. bukan hanya itu, perang ini pun merupakan perang internasional: Perancis menentang keluarga Habsburg, dan orang Spanyol berusaha keras untuk mendapatkan kembali kekuasaannya atas Belanda (Gonzalez 1985).
            Pada tahun 1619 Kaisar Habsburg, Ferdinand II menjadi Raja Bohemia. Akan tetapi, para bangsawan yang kebanyakan adalah Lutheran, memecatnya dari kedudukan raja, dan sebagai penggantinya mereka mengangkat seorang Pangeran Protestan Jerman yang masih muda, Fredrick. Kemudian, sang kaisar dengan bantuan uang dari Paus dan pasukan dari Spanyol, mengirimkan tentara ke Bohemia untuk mengembalikan tahtanya, serta memulihkan agama Katolik (Gonzalez 1985).
            Untuk menegakkan kembali Gereja Katolik di Jerman, Ferdinand mengeluarkan surat perintah Restitusi, yang memerintahkan pengembalian seluruh barang milik Gereja Katolik yang disita selama persengketaan sejak tahu 1552 dikembalikan. Perintah tersebut menimbulkan banyak perlawanan. Akan tetapi perlawanan itu dapat diredam oleh pasukan kekaisaran sampai Raja Swedia menawarkan diri kepada orang-orang Protestan untuk membantu mereka melawan Gereja Katolik (Gonzalez 1985).
            Perang ini pada dasarnya bertujuan untuk memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan beragama. Kebanyakan dari pada peberontakan tersebut adalah Protestant yang menentang pemerintah Hapsburg yang melarang adanya penyebaran dan pengaruh agam lain kecuali Kristen Katolik. Untuk mengahalau pemberontakan ini, Ferdinand II meminta pertolongan Maximilian (Gonzalez 1985).    
Sebenarnya, pergaduhan dan permusuhan antara Katolik danProtestant yang berlaku di Bohemia disebabkan oleh usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Bohemia yang mencoba menghapuskan agama Protestant, Cavinisme, Lutherisme dan lain-lain dari negara itu. Mereka tetap dengan pendirian mereka untuk menegakkan Katolik, dengan tujuan menjadikan Katolik sebagai panutan semua rakyat pada masa itu. Konflik ini akan kembali lagi apabila rakyat memilih Ferdinard II yang berasal dari Liga Katolik sebagai pemerintah Bohemia yang telah menewaskan Elector Palatine Protestant yaitu Frederick IV. Kejayaan Katolik di Bohemia menyebabkan Katolik di bawah Hapsburg bertambah kuat (Gonzalez 1985).
            Terpilihnya Henry IV dari Bourbon yang seorang Calvinis menjadi raja, rupanya menjadi titik tolak pemulihan perdamaian antara pengikut Calvin (Hugenots) dengan penganut Katolik di Prancis. Pada tanggal 13 April 1598, Raja Henry IV mengeluarkan sebuah maklumat yang mendukung diadakannya toleransi beragama di seluruh Kerajaan Prancis yang dikenal sebagai Edikt Nantes. Maklumat ini memberikan angin segar bagi para pengikut Calvin untuk menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan mereka, kecuali di beberapa tempat (Gonzalez 1985).
Kematian Henry IV pada 14 Mei 1610 menjadi awal dari gejolak kaum Hugenot dengan kaum Katolik di Perancis. Komunitas Protestan selalu mendapatkan tekanan dari penganut Katolik yang mayoritas. Kaum Protestan tidak lagi mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan membangun rumah ibadah. Pada masa ini pula muncul perang Perancis yang merupakan serangkaian konfrontasi kekerasan antara orang Perancis Katolik dan Protestan (Gonzalez 1985)..
Raja Louis XIV turut merasakan kekuatan Protestan sebagai sesuatu yang membahayakan stabilitas negara dan kekuasannya. Oleh karena itu, ia berniat untuk melemahkan dan menghancurkan Hugenot. Sementara itu, penganut Katolik di Prancis merasa marah dan kecewa atas kasus hukuman mati yang dijatuhkan kepada lima orang Yesuit di London pada tanggal 30 Juni 1679. Kemudian Raja Louis XIV didesak oleh penganut Katolik Prancis untuk menekan para Huguenots yang dianggap bidaah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1660-1679) terciptalah dua belas undang-undang untuk melawan Huguenots dan bertambah lagi menjadi delapan puluh lima dari 1979 sampai 1685 (Gonzalez 1985) (Gonzalez 1985)..
Penganiayaan yang dilakukan oleh Louis XIV terhadap Huguenots berpuncak pada tanggal 18 Oktober 1685, dengan mencabut seluruh hasil Edikt Nantes melalui Edikt Fontainebleu. Seluruh cara ini dilakukan oleh Raja Louis XIV untuk mendongkrak popularitasnya dengan membentuk kerajaan yang terdiri dari satu agama saja, yaitu Katolik Roma, dengan demikian kesatuan politis dapat terlaksana. Louis XIV ingin menunjukkan kepada Paus Innocentius XI bahwa dirinya adalah seorang pembela yang luar biasa bagi Gereja Katolik (Gonzalez 1985).
Melalui maklumat ini terjadilah penghancuran-penghancuran terhadap rumah ibadat Calvinis dan penutupan bagi seluruh sekolah Protestan. Sebanyak 200.000 Calvinis pergi melarikan diri ke Inggris, Jerman, Swiss dan Belanda. Pengungsian ini mengakibatkan hancurnya keadaan ekonomi Prancis karena Huguenots yang ahli dalam berbagai bidang ikut melarikan diri (Gonzalez 1985).
Tokoh-tokoh utama yang mempelopori gerakan Puritan di Inggris antaranya ialah Hugh Latimer, Nicholas Ridley, Thomas Cranmer, William Tyndale, John Hooper dan John Rogers.  Tokoh-tokoh pelopor gerakan Puritan ini banyak dipengaruhi oleh ajaran para Reformator di kota-kota di negeri Swiss seperti Ulrich Zwingli, Heinrich Bullinger dan Oecolampadius, dan para reformator ini cenderung lebih mengikuti garis teologi Reformed, khususnya ajaran tentang doktrin kovenan dan predestinasi (Gonzalez 1985).
Kaum Puritan adalah kaum yang meyakini bahwa apa yang tidak tercantum secara khusus di dalam Alkitab berkenaan dengan hal perayaan religius adalah hal yang dilarang. Kaum ini mengalami penganiayaan setelah raja Edward VI wafat pada tahun 1553 dan diganti oleh ratu Mary I. Selama masa pemerintahannya, banyak pemimpin Protestan di Inggris yang juga adalah para tokoh pelopor gerakan Puritanisme seperti Hugh Latimer, Nicholas Ridley, Thomas Cranmer dan John Hooper, dihukum mati dengan diikat di tiang kayu dan dibakar hidup-hidup.  Akibat peristiwa penganiayaan tersebut, 800 orang Protestan di Inggris, termasuk John Knox, terpaksa harus lari dan mengungsikan diri ke beberapa kota di daratan Eropa seperti Frankfurt, Basel, Strasbourg dan Jenewa (Gonzalez 1985).
Setelah Mary Tudor wafat tahun 1558 dan diganti oleh ratu Elizabeth I (1558-1603), kaum Protestan Inggris mulai kembali ke negerinya untuk melanjutkan misi Reformasi dengan mencoba menerapkan apa yang mereka pelajari selama masa pengungsian di daratan Eropa.  Pada masa ratu Elizabeth I inilah, gerakan Puritan mulai menanamkan pengaruhnya secara lebih luas dan mendalam ke setiap aspek kehidupan bermasyarakat di Inggris, yang kemudian mencapai puncaknya di abad 17 ketika seorang tokoh Puritan bernama Oliver Cromwell menjadi penguasa atau Lord Protector dari wilayah Persemakmuran Inggris Raya (Gonzalez 1985).                                                                                                                            Jansenisme sebuah gerakan keagamaan yang muncul terutama di Perancis, Low Countries, dan Italia yang diprakarsai oleh Cornelius Otto Jansen. Ajaran ini muncul dari masalah teologis, yakni mendamaikan rahmat ilahi dan kebebasan manusia. Di Prancis itu menjadi terhubung dengan perjuangan melawan kepausan oleh para pendukung Gallicanism-teori politik menganjurkan pembatasan kekuasaan paus dan dengan oposisi terhadap absolutisme monarki dari Armand-Jean du Plessis Cardinal de Richelieu dan Louis XIV.    Kepausan (paus Innocentius X dan Paus Pius VI) menyerang melawan Jansenisme pada 1653 dengan penerbitan banteng Cum occasione ("Dengan Acara"), yang mengutuk lima dari proposisi Jansen yang dianggap sebagai ibadah, khususnya tentang hubungan kasih karunia dan kebebasan. Louis XIV bertekad untuk menghilangkan Jansenis yang dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan kerajaannya. Namun, terjadi perdamaian sementara antara Katolik dan Jansenis setelah Clement IX menjadi Paus pada tahun 1667, dan konflik itu tidak lagi menjadi perhatian utama ketika kepausan dan Gereja Perancis bentrok pada Gallicanism. Tapi setelah kontroversi antara kepausan dan monarki itu diselesaikan, Louis XIV memulai aksi penolakannya terhadap kaum tersebut (Gonzalez 1985)..                                                                               

Daftar Acuan
Gonzalez, Justo L. The History of Christianity. 1985. New York: HarperCollins

Kamis, 19 April 2012

Perwujudan Demokrasi Pancasila



         

              Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila, demokrasi Pancasila berarti sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat dan untuk rakyat artinya rakyat mempunyai peranan yang besar di dalam proses pemerintahan. rakyat dapat menyalurkan segala aspirasi baik berupa dukungan atau penolakan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah, karena pemegang kekuasaan yang sesungguhnya adalah rakyat bukan pemerintah. Pemerintah hanyalah lembaga yang merumuskan dan merapkan segala keingininan rakyat yang sesuai dengan ideologi negara.                                                                                 
           Pada dasarnya demokrasi Pancasila adalah perwujudan dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, hal ini dibuktikan dari ke lima sila yang ada di dalam Pancasila tercermin dalam pengertian dan tujuan dari demokrasi Pancasila yang menekankan pada kedaulatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. oleh kerena itu demokrasi Pancasila harus diterapkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh semua warga negara Indonesia. Akan tetapi selain kebaikkan yang diberikan sistim ini ada pula keburukan yang ditimbulkan dari penerapan demokrasi Pancasila. Berangkat dari penjabaran di atas maka makalah ini akan membahas mengenai demokrasi Pancasila, penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari dan dampak positif serta negatif dari penerapan sistim di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.                        
Deskripsi
Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratein yang berarti pemerintahan. (Sujianto dan Muslisin 2007, 22) Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak.  demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain rakyatlah yang memegang kendali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. berangkat dari pemikiran umum tersebut Abraham Lincoln dalam pidatonya berkata bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.                                                          
Salah satu negara yang mengunakan prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila banyak mengalami perubahan sejak awal Orde lama bahkan sampai saat ini. Demokrasi ini pertama kali terjadi pada zaman pemerintahan Soekarno yang dikenal sebagai demokrasi liberal. Setelah kembali ke UUD 1945 pada tahun 1959 demokrasi liberal berubah menjadi demokrasi terpimpin sampai pada era pemerintahan Soeharto demokrasi ini kembali lagi menjadi demokrasi Pancasila yang kemudian di kenal sampai sekarang. (Sujianto dan Muslisin 2007, 32).                                                                                                                          
Demokrasi Pancasila adalah pemerintahan rakyat yang berdasarkan pada nilai-nilai falsafah Pancasila atau pemerintahan yang dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Ini berarti bahwa demokrasi atau pemerintahan rakyat yang digunakan oleh pemerintah Indonesia adalah sistem yang diperoleh dan dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. (Sujianto 2007, 33) Dan demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar1945, yang berarti menegakkan kembali asas negara-negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara institusional.           


Demokrasi Pancasila mempunyai beberapa ciri-ciri yang membedakannya dari  demokrasi lain. Ciri-ciri tersebut adalah                                                                                                               1. kedaulatan berada di tangan rakyat artinya rakyat mempunyai wewenang yang penuh atas                                               pemerintahan yang ada di Indonesia.                                                                                      2.menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong.                                                         3. Menerapkan musyawarah dan mufakat sebagai cara pengambilan keputusan.                                                                          4. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.                                                    5.menjungjung tinggi dan diakuinya keselarasan antara hak dan kewajiban                                               6. Menghargai hak asasi manusia.                                                                                                         7. Ketidak setujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan                             melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan                                 pemogokan karena merugikan semua pihak.                                                                                                      8. Tidak menganut sistem monopartai karena tidak sesuai dengan hakekat demokrasi dan Pancasila yang sesungguhnya.                                                                                                                   9. Pemilu dilaksanakan secara luber.                                                                                               10. Tidak mengenal adanya kaum minoritas ataupun mayoritas.                                                            11. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum. (wordpress 2011)                                 
Demokrasi Pancasila juga mempunyai beberapa fungsi yang berguna untuk kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari, fungsi tersebut antara lain:
1. Menjamin partisipasi rakyat secara penuh dalam kehidupan bernegara. misalnya, Pemilu pr
2. Menjamin kesatuan Republik Indonesia.
3. Menjamin adanya kepatuhan dan pengamalan hukum berdasarkan Pancasila.                                     4. Menjamin keselarasan dan keseimbangan hubungan antar lembaga pemerintahan di Indonesia.                                                                                                                                        5. Menjamin adanya pemerintahan yang adil dan bertanggung jawab.
Dalam pelaksanaanya demokrasi Pancasila memberikan batasan-batasan kekuasaan dalam pemerintahan dengan tujuan, agar terjadinya pemerataan kekuasaan antar setiap instansi pemerintahan. Pembatasan kekuasaan tersebut berakar dari teori pembatasan kekuasaan Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu. Pembatasan kekuasaan tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang yang berada di bawah wewenang MPR dan DPR.
2.      Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang yang berada di bawah kekuasaan presiden, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.
3.      Kekuasaan Yudikatiif, yaitu kekuasaan untuk mengadili dan menegakan hukum yang telah dibuat. Kekuasaan ini dijalankan oleh Mahkamah Agung, (MA) Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). (Taopan 1989, 26)
Pembahasan demokrasi Pancasila ini merupakan hal yang sangat penting mengingat bahwa demokrasi adalah saran untuk mewujudkan kesejahteraan menuju hidup yang bahagia dan adil bagi rakyat banyak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang paling sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan sahri-hari, sebab demokrasi ini menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Analisis
Berangkat dari pejelasan di atas, terbukti betapa pentingnya pengamalan demokrasi Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Secara teori demokrasi Pancasila mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan demokrasi yang pernah ada sebelumnya seperti demokrasi Liberal dan Terpimpin. Akan tetapi pada praktiknya demokrasi Pancasila mengalami beberapa kendala dan mengakibatkan beberapa dampak negatif bagi bangsa Indonesia.
Dampak positif atau kebaikan dari demokrasi Pancasila adalah munculnya sistim pemilihan umum yang ‘luber’. Masyarakat memperoleh hak untuk dapat memilih pemimpinnya sendiri secara jujur, adil, bersih dan tanpa ada paksaan dari oknum-oknum tertentu. Pemilihan umum merupakan wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya terhadap pemimpin yang akan mereka pilih. Pemilihan umum yang terjadi di Indonesia adalah bukti dari kemajuan demokrasi Pancasila yang menuntut adanya partisipasi rakyat dalam pemerintahan di Indonesia.
Pemilihan umum yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil rakyat secara langsung ini memang baik. Karena memberi kesempatan kepada rakyat untuk ikut ambil bagian dalam proses kenegaraan. Namun faktanya, pemilu yang seharusnya jujur, bersih dan terbuka malah menjadi pemilu yang ‘kotor’. Maksudnya pemilu dijadikan pemerintah sebagai ajak untuk mempertahankan posisi atau kedudukan. Pemerintah berlomba-lomba untuk mendapatkan hati rakyat dengan cara memeberi suap berupa uang atau kebutuhan hidup seperti sandang atau pangan dengan motif agar masyarakt simpati dan memilih mereka untuk duduk di kancah pemerintahan. dapat disimpulkan pemilihan umum yang ada sudah melenceng dari aturan awalnya yaitu, pemilihan yang berdasarkan hak bebas rakyat tanpa ada paksaan atau suapan apapun dari pemerintah.
Demokrasi Pancasila yang ada di Indonesia pernah mengalami beberapa penyimpangan. Khususnya pada masa Orde lama, Orde baru dan Reformasi. Penyimpangan yang terjadi pada masa-masa tersebut antara lain:
1.      Demokrasi Indonesia yang seharusnya menggunakan demokrasi Pancasila berubah halauan menjadi demokrasi terpimpin yang dimpin oleh presiden sehingga dalam pelaksanaannya pemrintah bersikap otoriter dan sangat mengekang hak rakyat.
2.      Pada masa Orde baru, realisasi UUD 1945 lebih banyak memberikan porsi kepada kekuasaan presiden. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945 dan demokrasi Pancasila yang menekankan pada kekuasaan yang berada di tangan rakyat.
3.      Demokrasi yang seharusnya jujur berubah menjadi sebuah sistem yang dipenuhi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pemerintah.  
4.      Pemerintah membatasi hak rakyat untuk berpartispasi dalam proses kenegaraan. Secara langsung atau tidak kekuasaan legislatif pada masa pemerintahan Soeharto berada di bawah kekuasaan presiden. Hal ini terlihat dari perundang-undangan yang mengatur pemilihan MPR,DPR,DPRD. Yakni:
1.      UU No. 16/1969 dan UU No. 2/1985; tetang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
2.      UU No. 3/1975; tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
3.      UU No, 15/1969 dan UU No. 1/1985; tentan Pemilihan Umum. (Sujianto 2007, 36)
Dengan adanya penyimpangan-penyimpangan tersebut, otomatis ruang gerak rakyat khususnya dalam proses pemerintahan menjadi semakin terbatas dan bahkan hilang. Hal ini menyebabkan kemarahan dan pemberontakan rakyat. Rakyat menginginkan suatu sistim demokrasi yang dapat menyalurkanhak mereka untuk ikut berpatisispasi dalam pemerintahan. oleh karena itu demokrasi Pancasila harus diterapkan kembali sesuai dengan tujuan awalnya. Yaitu, pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang terdapat dalam UUD 1945, tentunya pembangunan politik di Indonesia harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga lahirlah demokrasi Pancasila itu. Namun dalam perkembangannya demokrasi Pancasila mempunyai beberapa faktor pendukung sekaligus faktor penghambat penerapan demokrasi ini di dalam kehidupan bernegara.
Faktor-faktor pendukung penerapan demokrasi Pancasila antara lain sebagai berikut.
1.      Ideologi Pancasila sebagai ideologi yang terbuka terhadap sistem baru yang tentunya sesuai dengan ideologi tersebut.
2.      Munculnya banyak partai setelah masa reformasi yang menunjukan terpenuhinya syarat untuk terwujudnya suatu demokrasi seperti halnya negara-negara yang menganut paham demokrasi lainnya.
3.      Adanya kemerdekaan memeilikh yang diakui secara konstitusional yang ditujikan melalui pemilu yang ‘luber’.
4.      Adanya kebebasan pers yang bertanggu jawab
 Faktor-faktor yang menghambat penerapan demokrasi Pancasila di Indonesia
1.      Lemahnya kesadaran hukum di dalam masyarakat teradap Pancasila, UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. Sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat yang tidak mengerti akan hal itu.
2.      Di dalam masyarakat Indonesia masih sering terjadi gejolak-gejolak sosial yang menyakut agama, budaya, dan ras. Hal ini menimbulkan keresahan sosial yang dapat berujung kepada kekerasaan politik.
3.      Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah menyebabkan kurangnya pengetahuan akan demokrasi Pancasila, sehingga pelaksanaan demokrasi ini tidak berjalan dengan baik.
Untuk mewujudkan demokrasi Pancasila yang sesuai dengan makna sesungguhnya, pemerintah dan masyarakat harus menjadi masyarakat yang madani. Masyarakat madani artinya masyarakat yang anggotanya terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda etnis, agama, dan budaya. Akan tetap dapat hidup berdampingan secara damai, serta masyarakat yang setiap anggotanya sangat menghormati dan taat kepada hukum dan pemerintahan yang berlaku. (Sujianto 2007, 30)
Masyarakat madani mempunyai beberapa ciri pokok. Menurut Prof. DR. A.S, Hikam, yaitu sebagai berikut.
1.      Kesukarelaan: artinya, masyarakat madani bukanlah masyarakat paksaan. Keanggotaan masyarakat madani adalah keanggotaan dari individu yang bebas, dan secara sukarela membentuk suatu kehidupan bersama dengan adanya komitmen yang sangat besar untuk mewujudkan cita-cita bersama.
2.      Keswasembadaan: masyarakat madani tidak tergantung kepada negara atau lembaga-lembaga lain. Setiap anggota mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, bahwa mereka dapat memnuhi kebutuhannya sendiri dan bahkan kebutuhan orang lain.
3.      Kemandirian yang tinggi terhadap negara
4.      Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama: masyarakat madani adalah masyarakat yang berdasarkan pada hukum yang berlaku, bukan kepada kekuasaan negara.
Dengan mewujudkan bentuk masyarakat madani di dalam kehidupan sehari-hari diharapakan agar demokrasi yang ada di Indonesia dapat terwujud sesuai dengan arti yang sesungguhnya dan penerapan demokrasi tersebut dapat menjadikan kehidupan serta partisipasi masyarakat dalam pemerintahan menjadi lebih baik dan mengalami kemajuan yang signifikan.

Kesimpulan
Demokrasi Pancasila di Indonesia secara teori telah berjalan dengan baik. Namun pada praktiknya hal tersebut belum sesuai denga cita-cita awal. Pengamalan Demokrasi Pancasila  di Indonesia harus diamlakan secara baik dalam bentul teori ataupun prakteknya karena demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang paling sesuai dengan ideologi yang diagali dari nilai-nilai luhru bangasa, Pancasila.
Penerapan demokrasi Pancasila harus dimulai dari diri kita sendiri. Apabila dalam kehidupan sehari-hari kita bersikap demokratis, maka pendapat kita akan senantiasa dihargai dan dihormati oleh orang lain. Selain itu, kehidupan masyarakat akan lebih tentram dan bahagia. Dalam demokrasi, perbedaan merupakan sesuatu yang wajar asalkan perbedaan tersebut jangan sampai membaca perpecahan antar satu dengan yang lainnya.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mewujudkan suatu sisitim pemerintahan yang baik sesuai dengan demokrasi Pancasila dan Pancasila itu sendiri. Pemerintah harus memberi peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpatisipasi dalam pemerintah, seperti: mengikuti pemilihan umum, masuk atau membuat paratai politik yang sesuai dengan hukum yang berlaku, atau ikut terjun secara langsung dalam kancah pepemrintahan. Selain pemerintah, masyarakat pun harus aktif dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan yang ada. Keberhasilan demokrasi Pancasila berada di tangan bangsa Indonesia bukan ditangan bangsa lain. Oleh karena itu masyarakat dituntut untuk secara aktif terlibat dalam proses pemerintahan, melakukan pengawasaan terhadap penyimpangan yang akan atau telah terjadi dan tanggap terhadap masalah-masalah pemerintahan di Indonesia. dengan kata lain seluruh bangsa Indonesia harus bekerja sama untuk mewujudkan demokrasi Pancasila di dalam kehidupan bernegara ataupun dalam kehidupan sahti-hari.

Daftar acuan
Juliantara, Dadang. 1998. Merentas Jalan Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius.
Mohamad, Goenawan. 2009. Demokrasi dan Kekecewaan. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi(PUSAD).
Sujianto dan Muhlisin. 2007. Praktik Belajar Kewarganegaraan. Jakarta: Ganeca Exact.                                                                                                                                         Taopan, M. 1989. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Sinar Grafika.